...
Show More
Buku ini pertama kali diterbitkan di Indonesia pada tahun 2003 dengan membawa paradigma baru. Penulisnya, Al Ries adalah salah satu tokoh marketing paling terkenal di dunia. Beliau bersama partnernya, Jack Trout pernah memperkenalkan istilah "positioning" yang sampai sekarang masih tetap merupakan mantra ampuh di dunia marketing.
Paradigma yang ditawarkan sangat kontroversial bahkan mungkin dianggap sebagai "black campaign" oleh komunitas periklanan karena Al Ries dan Laura Ries mengungkapkan bahwa periklanan nyaris tidak punya bargaining power di era sekarang ini karena periklanan tidak punya kredibilitas dalam memasukkan pesan ke benak prospek. Al Ries menganggap zaman telah berubah. Beliau melihat Public Relations (PR) sebagai media yang lebih tepat. Periklanan hanya dipandang perlu untuk mempertahankan pesan merek di benak prospek saat PR berhasil menanamkan pesan tersebut.
Kalau kita mau cermati sebenarnya pemikiran Al Ries tidak salah. Setujukah Anda bahwa iklan memang tidak kredibel? Apa reaksi Anda bila melihat iklan yang menulis: "Produk kami yang Terbaik di Dunia". Percaya atau malah mencemooh? Sebagaimana ungkapan bahwa "semua tukang kecap selalu mengklaim kecapnya nomor 1", begitulah cara kerja iklan, overpromising. Saat ini porsi iklan juga sudah berlebihan, di mana-mana kita selalu melihat iklan sehingga prospek malah menganggap itu semua sebagai noise yang patut diabaikan.
Dan harus diakui bahwa di kalangan komunitas periklanan sendiri, kata "kreativitas" sangat dipuja sehingga mereka cenderung lebih "award-minded" dalam membuat karya. Kesuksesan produk klien menjadi nomor dua setelah obsesi memenangkan award di festival periklanan. Iklan adalah ajang kreativitas, bukan lagi efektivitas untuk mendongkrak penjualan produk klien. Like it or not, but it's the fact.
Tetapi kita semua juga harus menyadari bahwa tugas PR membangun merek untuk menanamkan pesan ke benak prospek, sesungguhnya sangat sulit dan butuh waktu sangat lama. Perlu adanya strategi bijak untuk membagi tugas periklanan dan PR untuk bahu-membahu membangun brand awareness.
Sekilas seperti: ditampar seorang salesman kecap yang mengklaim kecapnya nomor satu karena tidak jadi membeli.
Paradigma yang ditawarkan sangat kontroversial bahkan mungkin dianggap sebagai "black campaign" oleh komunitas periklanan karena Al Ries dan Laura Ries mengungkapkan bahwa periklanan nyaris tidak punya bargaining power di era sekarang ini karena periklanan tidak punya kredibilitas dalam memasukkan pesan ke benak prospek. Al Ries menganggap zaman telah berubah. Beliau melihat Public Relations (PR) sebagai media yang lebih tepat. Periklanan hanya dipandang perlu untuk mempertahankan pesan merek di benak prospek saat PR berhasil menanamkan pesan tersebut.
Kalau kita mau cermati sebenarnya pemikiran Al Ries tidak salah. Setujukah Anda bahwa iklan memang tidak kredibel? Apa reaksi Anda bila melihat iklan yang menulis: "Produk kami yang Terbaik di Dunia". Percaya atau malah mencemooh? Sebagaimana ungkapan bahwa "semua tukang kecap selalu mengklaim kecapnya nomor 1", begitulah cara kerja iklan, overpromising. Saat ini porsi iklan juga sudah berlebihan, di mana-mana kita selalu melihat iklan sehingga prospek malah menganggap itu semua sebagai noise yang patut diabaikan.
Dan harus diakui bahwa di kalangan komunitas periklanan sendiri, kata "kreativitas" sangat dipuja sehingga mereka cenderung lebih "award-minded" dalam membuat karya. Kesuksesan produk klien menjadi nomor dua setelah obsesi memenangkan award di festival periklanan. Iklan adalah ajang kreativitas, bukan lagi efektivitas untuk mendongkrak penjualan produk klien. Like it or not, but it's the fact.
Tetapi kita semua juga harus menyadari bahwa tugas PR membangun merek untuk menanamkan pesan ke benak prospek, sesungguhnya sangat sulit dan butuh waktu sangat lama. Perlu adanya strategi bijak untuk membagi tugas periklanan dan PR untuk bahu-membahu membangun brand awareness.
Sekilas seperti: ditampar seorang salesman kecap yang mengklaim kecapnya nomor satu karena tidak jadi membeli.