Community Reviews

Rating(4 / 5.0, 100 votes)
5 stars
34(34%)
4 stars
34(34%)
3 stars
32(32%)
2 stars
0(0%)
1 stars
0(0%)
100 reviews
April 17,2025
... Show More
I very much enjoyed the insights to boy biology, genetics, hormones and the scientific parts of this book. It definitely brought me understanding and I am glad I read it.

I found myself skimming over a lot of his stories and opinions throughout the second half of the book but think the first half was absolutely worth reading.
April 17,2025
... Show More
I really wanted to like this book, and I think it starts out with good intentions. But the suggestions are so impractical and non-concrete that I gave up halfway for lack of any apparent benefit to continuting.

His main premise is that boys need an immediate positive role model (usually filled by the father figure, but could be anyone), a supportive family, and a community that integrates him into a role. All good, and I'm totally onboard. But aside from signing your kid up for Boy Scouts, there really wasn't much on how to find your boys all these things in a modern era of disintegrated family and secularism. Or maybe the point was to prioritize family and find a religion. I dunno.

I was also turned off by his rose-colored view of the past. He literally said that monarchs in the past served the people and were awe-inspiring, while today's leaders are selfish and ego-driven. Dude. Do you even know history? They had to name them Enlightened Despots because serving the people was a completely new concept. At least most of today's politicians pay lip service to that idea.

He does admit that the hierarchal structures that served men so well in the past did no good for women (and sometimes turned men into monsters). But he still pushes hierarchal organizations as a great way to turn boys into men. Just make sure they're good hierarchies with positive goals and only altruistic people populating them. Right.

Although he claims the book is science-based, there were also assertions that aren't really supported by the literature. For example, that boys need competition. There are absolutely cultures where competition is mostly avoided (although to be fair, those cultures haven't changed much in 10,000 years, probably for this reason). It makes me wonder about the accuracy of his other assertions.

So that's why I stopped reading.
April 17,2025
... Show More
n  It takes a village to raise a child. The child who is not embraced by the village will burn it down to feel its warmth.n Demikian pepatah yang konon katanya berasal dari Afrika, benua yang secara stereotipe tampak masih terbelakang, identik dengan kesukuan, makanya memerlukan satu desa untuk membesarkan seorang anak. Namun buku ini justru hendak menghidupkan kembali nilai-nilai tribalisme, berusaha menyesuaikannya dengan nilai-nilai kekinian yang telah bergeser semakin jauh ke titik seberang. Kesukuan telah berganti keterasingan, tribalisme versus individualisme. Masyarakat memandang tugas membesarkan seorang anak semata-semata tanggung jawab orang tua si anak dan lembaga tempatnya disekolahkan, padahal setiap orang dapat memiliki andil baik secara positif maupun negatif.

Nilai tribalisme yang dikemukakan buku ini di antaranya sistem tiga keluarga yang terdiri dari: 1) keluarga inti, yaitu keluarga yang masih sedarah, termasuk kakek-nenek, 2) keluarga luas, yang bukan keluarga inti tetapi masih berhubungan dekat, misalnya pengasuh, guru, teman sebaya, dan seterusnya, 3) kebudayaan dan komunitas, dapat berupa media, kelompok keagamaan, pemerintah, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Ketiga macam keluarga ini adalah "suku" bagi seorang anak.

Tradisi kesukuan biasanya bersifat spiritual, serta memiliki ritual atau inisiasi. Melalui cara-cara semacam itu, potensi-potensi alamiah lelaki diarahkan. Bahkan peperangan merupakan cara untuk menyalurkan agresi yang secara alamiah dimiliki laki-laki.

Sebagai muslim, secara otomatis saya mengaitkan pengetahuan dalam buku ini dengan pengetahuan dalam agama saya. Kaitannya paling sedikit dengan dua hal, yang pertama dengan perkembangan Nabi Muhammad dan yang kedua dengan ritual-ritual dalam ajaran Islam.

Yang pertama, Nabi Muhammad dikenal sebagai manusia berakhlak paling mulia. Bahkan ia mendapat peringkat 1 dalam buku Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Michael H. Hart. Padahal ia seorang yatim piatu yang tidak dibesarkan sendiri oleh orang tuanya. Sistem-tiga-keluarga dalam tribalisme, sebagaimana diuraikan dalam buku ini, seperti dapat menjelaskan secara logis kemungkinan pribadinya yang menakjubkan dapat terbina. Walaupun yatim piatu, ia memiliki banyak sosok pengasuh pengganti di sekitarnya. Ada ibu susu, ada kakek dan paman-pamannya. Ia hidup dalam tradisi kesukuan--suku Quraisy--sehingga sistem-tiga-keluarga itu ia miliki dan memungkinkannya tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang sehat secara spiritual, moral, dsb.

Yang kedua, Islam memiliki sejumlah ritual yang terus dipertahankan hingga kini khususnya bagi laki-laki. Sebut saja: khitan, salat Jumat, salat fardu berjamaah di masjid, dst. Saya duga semuanya itu sesungguhnya merupakan bentuk inisiasi yang dibutuhkan untuk mematangkan pribadi laki-laki, sebagaimana yang dimaksudkan dalam buku ini. Bahkan buku ini menganjurkan agar sesering mungkin mengajari anak laki-laki untuk berpantang seksual dan menghargai keperjakaan (halaman 426) yang di dalam Islam caranya antara lain melalui puasa sunah dan menikah.

Walau demikian, buku ini tampak berhati-hati sekali dalam menyampaikan pesan-pesannya. Bagaimanapun, buku ini aslinya ditulis untuk pembaca Amerika (Serikat) tahun '90-an ke atas yang masyarakatnya telah demikian liberal. Buku ini memaklumi bahwa dewasa ini menghidupkan kembali pola tradisional-spiritual bisa jadi sudah tidak lagi memungkinkan, tapi paling tidak, perlu dicari alternatifnya. Misal: suku diganti dengan penitipan anak, perang dengan olahraga terorganisasi atau bela diri.

Begitu kita memasuki milenium selanjutnya, energi dekonstruksi ini secara bertahap berubah ke arah energi rekonstruksi karena kita telah menyadari bahwa perbuatan kita di tengah hiruk-pikuk perubahan ini telah menciptakan lubang menganga di dalam masyarakat maupun jiwa kita. Jadi, kita kini mengunjungi kembali masa lalu bukan untuk membuang hal-hal bagus yang sudah kita capai selama dasawarsa terakhir, melainkan untuk meraih kembali hal-hal bagus yang hilang dan menyatukannya dengan visi dan sistem progresif yang telah kita temukan. (halaman 432)


Maka buku ini tidak secara terang-terangan menyeru kepada perempuan agar kembali ke rumah dan mencurahkan lebih banyak waktu untuk anak, tetapi agar segenap komunitas berbagi tanggung jawab dalam membesarkan setiap anak. Namun, biarpun penulis mengaku sebagai "feminis-keluarga" dan tidak antifeminisme, saya merasakan mulai halaman 445 sampai beberapa halaman setelahnya tersirat kritik terhadap kesetaraan gender yang mana peningkatan ekonomi perempuan berimbas pada kehilangan pekerjaan laki-laki.

Apa yang tidak kita perhatikan saat kita dengan semangat menuntut peningkatan ekonomi bagi kaum perempuan adalah bahaya yang diakibatkan oleh perubahan itu terhadap laki-laki juga terhadap masyarakat secara keseluruhan. (halaman 446)


Di bagian belakang buku ini, solusi yang diajukan antara lain: 1) menggunakan tahap perkembangan moral Kohlberg (yang sepertinya relevan juga secara spiritual), cerita dilema moral, serta Sistem Plus 1 untuk membina moral anak setahap demi setahap (halaman 356), 2) untuk membina sistem-tiga-keluarga yang senilai, orang tua sendiri perlu aktif mengakrabkan diri dengan lingkungan sekitarnya serta mencarikan kegiatan yang sesuai bagi anak. Cara-cara ini tampak cukup berat, tapi inilah parenting!--usaha mendidik moral anak alih-alih membiarkannya berkembang ala kadarnya sehingga terbentuklah masyarakat akhir zaman yang hidupnya sehari-hari diwarnai berita pembunuhan, pencabulan, penipuan, dan seterusnya sebagaimana sekarang ....

Walaupun buku ini tentang membesarkan anak laki-laki dan untuk saat ini saya tidak mempunyai anak laki-laki untuk dibesarkan (baik anak kandung maupun anak orang, paling-paling anak imajiner yang telah mendorong saya untuk membaca ini :v), sehingga pembacaan pun banyak samarnya, sekali-sekali saya masih dapat mengaitkan diri. Dalam buku ini saya menemukan hal-hal yang kemungkinan membawa saya pada titik ini dan hal-hal yang masih perlu diperbaiki, serta melihat posisi saya dalam masyarakat dan bagaimana saya dapat tetap berkontribusi secara sosial. Setiap orang semestinya memiliki kesadaran bahwa tindak-tanduknya mungkin dicontoh oleh anak orang lain; maka saya pun termasuk "setiap orang" yang secara tidak langsung turut memiliki tanggung jawab membesarkan sekalipun bukan anak sendiri.

Timbul pula pikiran bahwa "kemandirian" atau "kesendirian" tidaklah sebegitu patut dibanggakan bila senyatanya terisolasi atau tidak mampu membangun relasi. Membangun keluarga baru tidak semestinya memutus hubungan persaudaraan dan pertemanan, sebagaimana yang lazim terjadi. Sebab, anak membutuhkan tidak hanya kedua orang tuanya tetapi juga keluarga kedua dan ketiga. Jika sewaktu-waktu salah satu atau kedua orang tuanya tidak lagi dapat mendampingi, keluarga kedua dan ketiga inilah yang akan menggantikan.
April 17,2025
... Show More
Please, if you have a son, READ THIS BOOK! You will hold him differently in your mind and heart afterward, and though it may be hard to let him go, you will have less worry, feeling he is prepared to enter the world at large as a strong, yet thoughtful young man.
April 17,2025
... Show More
I read it when I only had 3 boys, and now I have 4! It was great and helpful in learning the science of boys and why they act the way they do and what they need to be men. A lot of light was shed. I agreed with most of it.
April 17,2025
... Show More
Don't get me wrong, understanding how hormones and culture work together differently for the genders is a good thing for any parent. But to be honest, I couldn't get all the way through this book because it didn't feel like it was telling me anything all that remarkable or new. It seemed to be basic child development type info I've already seen in other places. And the writing style wasn't for me.
April 17,2025
... Show More
Didn't care for this book a bit. Well, I guess that isn't entirely true. I found myself intrigued by the actual physiological differences between boys and girls and the background given on cultural responsibilities of boys, but when the author started to give his two cents about how to raise them, I found myself constantly disagreeing. I have two boys and was excited to read it. Very disappointed.
April 17,2025
... Show More
The is a fairly good book in spite of itself. The information, while admittedly dated, is useful for those raising boys, particularly females who have no clue about the male world. Given that so much has happened in the time since the author wrote, I do wish he had presented a more updated version, or had written an entirely new book. As it is, he spends far too much time for preparing you for how shocking the research seems (it doesn't) and apologizing for writing such things. Mind you, I only got through half of it before losing my patience and reading the checklist at the back, so it might have gotten better, but somehow, I don't think so.
April 17,2025
... Show More
After listening to the author speak at a Great Homeschool Convention last year, I think I wanted to like this book (before reading it) more than I actually liked it (after reading it).
It's still a good book. I agree with most of his premises and conclusions. Many of his recommendations, we were already doing. However, some of his solutions and practical advice I disagree with or find improbable to implement well. For example, he talks about the trouble with "individualism" in our society. (Couldn't agree more!) He recommends a boy have 3 families (basically mentors moving out in circles starting with the nuclear family). Okay, *sounds* good... except that he emphasizes that values need to mostly match between the 3 families--which is where the problem comes in. As orthodox Christians, it's hard to create a morally "on-board" 3 family system in today's secular, hypersexual, media-drenched society. We'll do our best, though.

Sax vs Gurian; Boys Adrift vs Wonder of Boys

I read Boys Adrift and Wonder of Boys pretty close together, so I thought I'd to a little comparison. Both, obviously, are addressing the current crisis of "lost boys," "failure to launch," etc. While the books overlap some, I preferred reading this book by Leonard Sax. I felt like his writing flowed better and that his solutions were more pointed and less "fuzzy" than Gurian's were at times. They take slightly different approaches as Gurian focuses more on brain scans (and the like) while Sax focuses more on longitudinal studies (and the like); also, Sax's book was written about 10 years after Gurian's, so I felt like it was up-to-date in certain respects.
April 17,2025
... Show More
Misogynistic and patriarchal. Unfortunately not an uplifting book.
April 17,2025
... Show More
buku ini rasanya dibeli awal 2006, dan baru selesai terbaca 1.5 tahun kemudian. lol. tingkat 'distracted' si pembaca satu ini tinggi sekali rupanya periode tsb.

tapi bukunya cukup memberikan tambahan informasi sisi lain yang berguna buat saya, sebagai emak2 dengan 2 satria. all bout raising boys. nice.
April 17,2025
... Show More
The first three chapters are worth reading for the in depth look at boys and boy culture, but after that it becomes increasingly generic and proscriptive in a way I found unhelpful; the constant lists of ten skills or seven strategies got old. Also, I can’t disagree with many other reviewers that the gender politics have changed since the original printing and it’s hard not to interpret the author’s recommendations as well suited for both boys and girls - thus negating the purpose of the book as a special look at boys.
Leave a Review
You must be logged in to rate and post a review. Register an account to get started.