...
Show More
It's like rain in your wedding day
It's a free ride when you've already paid
It's a good advice that you just didn't take
and who would've thought...it figures
Ironic by Alanis Morisette
George Hall menjalani hidupnya tanpa neko-neko. Menikah, punya anak, punya rumah dan pekerjaan yang bagus, pokoknya segala hal yang sepatutnya dimiliki lelaki baik-baik. Namun memasuki masa pensiun, tiba-tiba berbagai masalah menjungkirbalikkan hidupnya yang sempurna. Putrinya Katie akan melangsungkan pernikahan kedua dengan lelaki yang menurut George dan Jean, istrinya, tidak selevel dengan Katie. Putra mereka Jamie akan membawa pacarnya Tony ke pernikahan tersebut, yang membuat George terpaksa harus mulai menerima kenyataan bahwa Jamie adalah seorang gay. Sebentuk daging tiba-tiba muncul di pinggul George, membuatnya depresi karena takut mati terserang kanker. Dan puncaknya, Jean berselingkuh dengan mantan rekan sekantor George. George pun mulai bertanya-tanya, apakah selama ini dia telah menyia-nyiakan waktunya, dengan tidak melakukan hal-hal yang disukainya, demi mengejar hidup yang aman. Sementara pernikahan putrinya sudah semakin dekat...
Rusuhnya persiapan pernikahan memang menarik dijadikan bahan cerita. Sejumlah film yang pernah saya tonton juga mengangkat tema serupa, seperti Father of the Bride, My Bestfriend's Wedding, Rachel Getting Married, dll. Walaupun tidak persis sama, tapi benang merahnya adalah berbagai masalah yang timbul menjelang hari pernikahan. Mungkin karena acara pernikahan sering kali menguras tenaga dan emosi, sehingga rawan mengundang pertengkaran, tangisan, pertemuan, pelarian, atau malah perpisahan.
Itu sebabnya meskipun dalam novel ini Mark Haddon masih punya 'daya magis' untuk menyihir pembaca seperti saya tetap terpaku menyimak halaman demi halaman sampai tuntas, namun tema yang diangkat tidak seunik The Curious Incident of the Dog in the Night-Time.
Di buku ini, Haddon sangat sabar memaparkan detail hari demi hari yang dilewati masing-masing tokoh. Ritual mandi atau makan sepulang dari kantor bisa dia jabarkan satu per satu tanpa kehilangan stamina. Bagi pembaca yang menunggu-nunggu aksi seru mungkin bisa mati bosan di tengah jalan :D Tapi untungnya Haddon masih menyisipkan lelucon-lelucon sarkastik di antara cerita, jadi cukup menghibur.
Yang jelas novel ini kembali membuat saya berpikir, apakah saya sebaiknya tetap hidup lurus-lurus saja seperti selama ini, atau mulai nekat mengejar semua yang ingin saya lakukan tapi tidak pernah berani saya lakukan? Hidup toh cuma sekali....
Hehehehehe
It's a free ride when you've already paid
It's a good advice that you just didn't take
and who would've thought...it figures
Ironic by Alanis Morisette
George Hall menjalani hidupnya tanpa neko-neko. Menikah, punya anak, punya rumah dan pekerjaan yang bagus, pokoknya segala hal yang sepatutnya dimiliki lelaki baik-baik. Namun memasuki masa pensiun, tiba-tiba berbagai masalah menjungkirbalikkan hidupnya yang sempurna. Putrinya Katie akan melangsungkan pernikahan kedua dengan lelaki yang menurut George dan Jean, istrinya, tidak selevel dengan Katie. Putra mereka Jamie akan membawa pacarnya Tony ke pernikahan tersebut, yang membuat George terpaksa harus mulai menerima kenyataan bahwa Jamie adalah seorang gay. Sebentuk daging tiba-tiba muncul di pinggul George, membuatnya depresi karena takut mati terserang kanker. Dan puncaknya, Jean berselingkuh dengan mantan rekan sekantor George. George pun mulai bertanya-tanya, apakah selama ini dia telah menyia-nyiakan waktunya, dengan tidak melakukan hal-hal yang disukainya, demi mengejar hidup yang aman. Sementara pernikahan putrinya sudah semakin dekat...
Rusuhnya persiapan pernikahan memang menarik dijadikan bahan cerita. Sejumlah film yang pernah saya tonton juga mengangkat tema serupa, seperti Father of the Bride, My Bestfriend's Wedding, Rachel Getting Married, dll. Walaupun tidak persis sama, tapi benang merahnya adalah berbagai masalah yang timbul menjelang hari pernikahan. Mungkin karena acara pernikahan sering kali menguras tenaga dan emosi, sehingga rawan mengundang pertengkaran, tangisan, pertemuan, pelarian, atau malah perpisahan.
Itu sebabnya meskipun dalam novel ini Mark Haddon masih punya 'daya magis' untuk menyihir pembaca seperti saya tetap terpaku menyimak halaman demi halaman sampai tuntas, namun tema yang diangkat tidak seunik The Curious Incident of the Dog in the Night-Time.
Di buku ini, Haddon sangat sabar memaparkan detail hari demi hari yang dilewati masing-masing tokoh. Ritual mandi atau makan sepulang dari kantor bisa dia jabarkan satu per satu tanpa kehilangan stamina. Bagi pembaca yang menunggu-nunggu aksi seru mungkin bisa mati bosan di tengah jalan :D Tapi untungnya Haddon masih menyisipkan lelucon-lelucon sarkastik di antara cerita, jadi cukup menghibur.
Yang jelas novel ini kembali membuat saya berpikir, apakah saya sebaiknya tetap hidup lurus-lurus saja seperti selama ini, atau mulai nekat mengejar semua yang ingin saya lakukan tapi tidak pernah berani saya lakukan? Hidup toh cuma sekali....
Hehehehehe